Budaya kita mengenal kata “Nagih Janji”.  Tema prinsip ini selalu dikaitkan dengan personifikasi enerji dari sosok Semar maupun Sabda Palon yang membabar kutuk atau sumpah serapah.  Dalam tradisi Jawa, hal ini dipopulerkan oleh pujangga-pujangga Jawa baru/anyar untuk mengangkat semangat para pejuang yang kalah!  Para masyarakat yang bermental kalah!

Ya, semenjak Majapahit lengser kita memang menjadi bangsa yang kalah! Yang jatuh mental sejatuh-jatuhnya! Naasnya, kita berakulturasi dengan para pelancong dari Timur Tengah yang membawa budaya kekalahan, mereka menggunakan agama untuk menjadi kudung-kudung semu atas mental bangsa yang kalah, paska Dinasti Abbasiyah-Muta’zilah runtun setelah dihancurkan oleh Hyang Hullagu, cucu Jengis khan. Mereka adalah orang-orang yang kalah dan berlindung di balik agama untuk mempolitisir gerakan-gerakan tak sehat. Menyebarkan tahayu-tahayul (guyon tuhon) yang tak sehat, dan menutup diri dari ilmu kasunyatan (ilmu pengetahuan).

Nah, jika hari ini banyak orang-orang yang masih saja menggunakan Hyang Semar untuk mengutuk orang-orang yang dianggap tidak baik, dan tak sesuai dengan harapan hidupnya, maka mereka sesungguhnya sedang kisruh dan jatuh mental sedalam-dalamnya. Padahal Hyang Semar adalah personifikasi dari Tuhan itu sendiri! Tuhan yang tak pernah berpihak dalam lembah Rwabhinneda!

Jelas kita mengenal tudingan jari Hyang Semar sebagai simbol "Nagih Janji” yang artinya adalah ‘sebab akibat’ atau ‘wohing pakarti’ atau hukum karma!  Dan karma ini netral hanya memantul dari setiap refleksi sebab yang terlontar!  Tidak bisa dipaksa mendukung asumsi-asumsi hasrat kita!  Namun jika hari ini kita mempersempit makna nagih janji dengan rasa benci, sinis, kutuk, dan seolah-olah kita merasa orang yang paling teraniaya, waspadai bahwa itu jelas mental kalah yang mematikan!  Justru rasa seperti itu akan melempar kita ke lembah drama korban yang penuh kutukan!  Kutukan yang lahir dari dalam diri sendiri!  Yang mencengkeram kasadaran kita sendiri!  Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, Mulat Sarira Hangrasa Wani!

Jika kita mengenal Tuhan dan Hyang Semar seharusnya tidak lantas kita menggunakan beliau untuk mengukuhkan hasrat-hasrat penemu/asumsi kita yang terbatas! Sadar, kita hanya perlu sadar bahwa segala hal adalah konsekuensi dari cara-cara kita untuk merefleksikan gerak batin maupun gerak lahir kita! Ini sebagai hukum sebab akibat yang netral! Yang tak bisa kita paksakan untuk memihak pada apa yang kita anggap baik sekalipun!

~ Tunjung Dhimas Bintoro

(Pendiri Yayasan Suruh Nusantara Cendekia)