Adapun demit atau ilu - ilu oleh tradisi Jawa dipahami sebagai transmutasi energi (malihane daya). Jika energi tersebut terserap dan terpasang ke dalam diri manusia akan terekspresi menjadi medan energi yang bersifat negatif (mengganggu tatanan tertentu). Adapun wujud atau manifestasi energi demit (negatif) tersebut adalah ngeluh (sambat), ngele'h (lemah), ngelah (penolakan), nglangut (apatis), nglalu (pelarian), lumuh (malas/lesu), dan lumpuh (tak berdaya). Sementara sebagai Piyantun atau Tyang (sebutan - manusia Ks. Jawa) adalah Pancer yang aktif dan berdaya. Di dalam diri manusia bersemayam - hakikat yang Luhur (Roh/ Atman/ Nur Muhammad / Roh Kudus/ Sukma Sejati/ Sang Causa Prima). Hanya manusia yang memiliki kemampuan memberadakan dan menciptakan segala kehadiran dan keberadaan sendiri. Manusia satu- satunya mahluk di muka bumi yang memiliki fasilitas (privilege) paling mutakhir untuk menciptakan kemungkinan- kemungkinan besar di dalam kehidupan mereka sendiri. Keterlibatan yang didasari tanggung jawab sadar untuk menggapai, memperoleh, bahkan menciptakan situasi di dalam diri mereka sendiri.
Maka dengan pemahaman demikian, orang jawa selalu mengedepankan "laku" sebagai "means and tools" atau cara dan alat untuk memanipulasi keberadaan dan kondisi yang mereka kehendaki. Misal untuk mengubah paparan energi negatif (yang dipersonalisasi sbg demit), manusia Jawa melakukan laku manembah/ mangening (kontemplasi), mangarwuhi/ mangasah (merenungi- mengetahui), mangabekti/ mangesuh (melayani/ mengabdi), mandegani/ angadahi (mumpuni), dan makarya/ mlampahi (berkarya). Laku - laku tersebut dipahami sebagai "way of life" yang diturunkan melalui tradisi tutur, rontal, maupun ilmu laku. Sampai hari ini kami bersama Suruh Nusantara, berupaya menggali dan melestarikannya dengan konsistensi dan gotong royong bersama. Semoga Sang Hyang Wenang merestui upaya kita. Rahayu
Sagung Dumadi 🙏
~ Tunjung Dhimas Bintoro
(Pendiri Yayasan Suruh Nusantara Cendekia)