Puasa adalah bagian dari metode ruwat ala Jawa. Dengan menjalani puasa sesungguhnya kita sedang melibatkan diri kita untuk menjalani ruwat. Bahkan puasa itu masih relevan untuk dilakukan berdasarkan tinjauan sains modern dan medis. Saya dan Tim Suruh Nusantara selalu membahas dan berdiskusi tentang laku puasa Jawa dengan beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter, ahli gizi, pakar ayurvedic dan para praktisi kesehatan lain tentang bagaimana tinjauan medis bagi orang- orang yang melaksanakan laku- laku tirakat Jawa khususnya dalam hal ini adalah puasa. Dari beberapa diskusi dan penggalian tentang puasa tersebut, kami merumuskan kembali langkah praktis puasa bagi mereka yang tertarik untuk menjalaninya bersama kami.

Perlu diketahui bahwa memberi jeda tubuh kita untuk tidak mencerna dan memproses makanan adalah salah satu upaya pembersihan atau detox yang prinsipnya sama dengan "ruwat" yang berkaitan dengan cara merawat tubuh dengan tanggung jawab sadar. Jadi puasa itu masih memberi manfaat utama bagi kehidupan kita. Di Jawa, metode puasa dikembangkan dengan berbagai corak sesuai tata pelaksanaannya; sesuai dengan adat, budaya, dan gugon tuhon yang dianut masing- masing tradisi di berbagai wilayah Jawa khususnya. Hal tersebut dilakoni dengan dasar kesadaran holistik sesuai tujuan dari setiap tradisi puasa yang dijalani. Tentunya dalam praktik puasa tersebut tidak lantas hanya dijadikan ritual- ritual formalitas karena berbasis doktriner, melainkan dengan format kaweruh, makna, dan penghayatan intensif.

Dalam tradisi Jawa, makanan dan budaya memakan sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan kita. Makanan dan cara makan menentukan struktur biologis dan psikologis kita. Budaya makan dan memilih bahan makanan untuk kita konsumsi sangat berkaitan dengan suasana dasar psikologis kita, berpengaruh terhadap cara kita merasa, berpikir, dan bertindak. Maka jika kita mau merenungi dan menggali, kita akan memahami bahwa puasa adalah suatu jalan transformasi untuk mengubah "form" tubuh kita. Mengubah form dari yang lama menjadi selalu baru, energetik, bergerak dari yang kacau balau menjadi lebih baik. Istilah lainnya adalah meruwat karma kita agar menemukan pembaharuan dari generasi ke generasi, dari yang terkukung menjadi potensial.

Puasa adalah laku otentik manusia untuk menjaga kualitas tubuhnya. Leluhur Nusantara mengajarkan praktik-praktik puasa tersebut dengan maksud untuk menggapai kebutuhan dasar manusia sebagai sarana penunjang ekspresi mereka dalam menjalani hidup. Kebutuhan tersebut adalah suasana dasar batin yang tenang dan raga yang sehat (saras lan ethes). 

Para Pitara kita memetakan arti/ meaning dari dimensi sehat dalam empat tataran:

1.     Semeleh (rileks)

2.     Langgam (normal- reguler)

3.     Hayati/ Pepesthi (natural)

4.  Jumeneng/ Selaras (balance/ seimbang/ powerful)

Dimensi sehat seseorang berdasarkan terpenuhinya 4 (empat) tataran di atas dikategorikan dalam level yaitu:

1.     Level 1 (SARAS - sehat umum) apabila terpenuhi minimal 2 (dua) poin dalam realitas tubuh

2.     Level 2 (KUAT-WARAS) apabila terpenuhi 3 (tiga) poin dalam realitas tubuh

3.     Level 3 (SHAKTI/ ENERGIZED/ ALTETIS – Kuat, Saras, Waras, Akas, Awas, Selaras) apabila terpenuhi 4 (empat) poin dalam realitas tubuh

Nah, maka dari itu laku puasa tersebut sering kali dijadikan pondasi dasar laku-laku spiritual pada berbagai tradisi, ajaran, agama, maupun budaya karena sesuai azas konsep laku "mengenal diri- mengenal Gusti". Barang siapa mengenali dirinya mereka akan mengenal Tuhannya, artinya adalah selalu ada potensi- pontensi "kadigdayan" dalam setiap diri yang mengacu pada kondisi berdaya, mandiri, tangguh, awas, dan tatag (mantap).

Suruh Nusantara Cendekia sebagai gerakan laku dalam kesempatan ini akan kembali mengadakan gerakan serentak untuk menjalankan puasa dalam rangka "udhar gelung" sasi Suro (menjalankan latihan/ menggembleng jiwa di bulan Sura). Sebagaimana yang sudah berjalan selama ini, secara serentak kita telah melaksanakan puasa yang cukup familiar di kalangan masyarakat Jawa yaitu puasa ngrowot. Selain puasa ngrowot sesungguhnya masih ada beberapa lagi laku puasa di dalam masyarakat Jawa khususnya, di antaranya adalah puasa ngidang, ngalong, ngebleng, dina patang puluhan, puasa weton, pati geni, puasa ngalueng, tapa sungsang (ngalong gantung), dan puasa nganyep (ngasrep). Selain itu juga ada laku melek (terjaga), ngajur ajer dan tapa kungkum. Laku puasa tersebut tergolong dalam lelaku “mesu budi babahan howo songo" atau laku penggemblengan diri secara holistik; jiwa dan raga. Adapun laku - laku tersebut memang tidak bisa 100 % dibuktikan secara literer, namun berjalan secara de facto. Rata - rata berbasis tutur tinular, wejangan, gugon tuhon, baiatan, waris/ inisiasi, secara adat ketradisian yang tidak sepenuhnya tercatat dalam kesusastraan dan sejarah kita, tetapi ada dalam hikayat, suluk, adat, dan paguronan.

Bulan Sura kali ini Suruh Nusantara mengambil tema laku puasa nganyep, puasa yang memang tidak cukup familiar tetapi masih dipraktikkan beberapa piyantun Jawa secara turun- temurun, tertutup, dan ajeg.  Saya secara pribadi menerima laku nganyep sebagai salah satu patrap laku rutinan saya dalam menjalani hidup, yang diwasiatkan oleh swargi guru saya. Sampai hari ini saya masih melakukan puasa nganyep secara rutin di bulan - bulan tertentu, atau pada situasi urgent, saya biasanya melakukan laku tersebut. Secara pribadi saya mendapatkan manfaat bagi diri saya, baik secara raga maupun batin. Maka dari itu, kali ini saya bersama Suruh Nusantara Cendekia mengajak siapa saja yang tertarik melakukannya bersama kami. Lalu apakah puasa nganyep itu?

Puasa nganyep adalah puasa yang secara tutur tinular dijelaskan sebagai puasa "nelukake sewu ratu” atau puasa "nyidhem rasa hamepesi otot bayu braja". Arti dari nelukake sewu ratu adalah menaklukkan 1000 (seribu) macam hasrat kenafsuan yang mengisi diri kita bak ratu. Jika disimak seluruh hasrat dan ketidakseimbangan pikiran kitalah yang ngratoni atau menguasai diri kita, alih- alih kesadaran kita. Sementara nyidhem rasa hamepesi otot bayu brajaadalah makna ketenangan batinlah yang mampu meluruhkan atau melemahkan angin- angin gejolak nafsu yang menyelubung di dalam otot kita atau jaringan syaraf kita, gejolak nafsu ini adalah braja yang berarti kuat dan merusak dalam realitas lapisan diri kita (ekspresi ketidaksadaran).

Secara teknis puasa nganyep dilakukan dengan nyirik (menghindari) makanan yang mengandung minyak dan garam (lengo lan uyah).  Dilakukan dengan cara "nglajur" artinya bebas tidak ada jadwal makan tertentu atau makan seperti biasanya. Yang penting adalah tidak memakan makanan yang mengandung garam dan minyak. Adapun durasi puasa nganyep sebagai berikut:

1.     Minimal 25 hari dengan 24 hari leren makan garam dan minyak, dilanjutkan dengan sehari semalam ngeblas / ngebleng pati geni untuk penutupan.

2.     Jika ditingkatkan lagi durasinya kelipatan 25 hari menjadi 50 hari dengan 48 hari leren makan garam dan minyak, dilanjutkan dengan 2 hari 2 malam pati geni.

3.     Bila dirasa masih kuat bisa dilanjutkan menjadi 100 hari dengan 96 hari leren makan garam dan minyak, dilanjutkan dengan 4 hari 4 malam pati geni.

Aturan dimulainya puasa nganyep berdasar jenis kelamin adalah sebagai berikut:

1.     Laki- laki dimulai pada malam tanggal bulan genap

2.     Perempuan dimulai pada malam tanggal bulan ganjil

Secara filosofi nganyep itu berarti dingin, secara makna adalah mendinginkan gejolak hasrat dan nafsu yang sering digambarkan panas layaknya api. Simbol garam memiliki rasa asin yang mewakili karakter rasa yang paling kuat dari sad rasa atau enam jenis rasa (Asin, Manis, Pahit, Asam, Pedas, dan Sepet) yang diterjemahkan dalam cercapan dan perasaan kita. Sementara itu representasi kekuatan garam juga berkaitan dengan otot ketika otot kekurangan kadar garam maka akan kaku dan susah digerakkan. Hal inilah yang terkandung dalam muatan garam. Ketika makan kurang garam, orang sering bilang sepo atau hambar, tidak gurih, menjadi simbol penyedap sekaligus pemimpin warna warni rasa. Garam juga sebagai simbol karakter maskulin karena memiliki rasa asin yang kuat - yang bikin melek jenggelek dan putih sebagai simbol kama.  Sementara itu minyak sebagai lambang pemantik api yang mudah terbakar, juga lambang pemisah diri dengan Mpu-nya diri karena minyak yang bersifat memisah dengan air. 

Sederhananya minyak adalah lambang hijab/ warana/ kelir/ kotoran. Sementara air adalah simbol hidup yang murni itu sendiri (banyu perwitasari/ tirta amerta). Minyak juga sebagai simbol karakter feminin yang memiliki karakter licin, nggubel / lengket, labil dan nglenthuh (melankoli). Jadi laku nganyep juga merupakan simbol lelaku menata unsur maskulin dan feminin dalam diri kita.

Berkaitan dengan angka 25 (selawe), 50 (seket), dan 100 (satus) dalam durasi pelaksanaannya, berikut penjelasannya:

1.     25 (selawe) diartikan sebagai "seneng- senenge lanang lan wadon" atau "sela - selane wewengku"merupakan lambang situasi kehasratan yang labil, penuh godaan, dan sembrana maka pribadi yang melakoni nganyep akan diuji pertama di tataran lelaku selawe dina. Pada kisaran 25 hari inilah pelaku nganyep akan dihadapkan dengan godaan, kelabilan, dan segala proses pengubahan status baru (masa transisi) dari kondisi kebiasaan lamanya, berkaitan dengan perubahan fisiologi, reaksi kimiawi, pskis, dan energi (tahap metamorphosis diri).

2.     50 (seket) atau seneng kethonan " atau juga “jumeneng mring sendang katresnan" merupakan kondisi tubuh yang mulai melemah, luwes, atau pepes otot bayune, kondisi diri mulai tenang, stabil, tidak kaku, tidak mudah panas, lebih sabar, awas - jernih dalam pemikiran. Sedangkan simbol kethonan/ kethu yang berarti pelindung kepala atau mahkota melambangkan kualitas akal. Dengan pendayagunaan akal yang matang atau dewasa, manusia diharapkan dapat menemukan mapaning urip (kemapanan hidup lahir batin) dan sendang katresnanyang berarti tenggelam dalam pengalaman rasa tresna yang memancarkan vibrasi damai dan adem, tidak ambisius, serta tidak grusa - grusu dalam menyikapi alur kehidupan.

3.     100 (satus) merupakan pasemonan atau kiasan "sat lan atus" adalah kondisi dimensi dimana pelaku nganyepmencapai taraf energi yang mapan dan murni, lantip ing panggrahita, dan awas. Kondisi tubuh yang terlatih mampu melampaui - realitas biologis, kimiawi dan psikis tak lagi terikat perspektif medis umum, karena kondisi sudah berubah dari status blue - print lama; struktur fisik, pskis, dan kimiawi sudah berubah total karena energi telah memancar dengan performa tertentu (epifani), orang Jawa menyebut "sat lan atus" sudah naik ke derajat dimensi realitas struktur tubuh baru, dan realitas pengalaman baru dengan penuh daya dan makna.

Sementara makna dimulai pada malam tanggal bulan ganjil untuk perempuan adalah lambang wanita yang bersifat "menyatukan" karena merekalah yang memiliki wadah rahim untuk menyatukan roh, sukma, kama, dan darah hingga melahirkan jabang bayi. Jadi satu adalah simbol kesatuan. Sementara laki- laki malam tanggal bulan genap adalah simbol dualitas atau Rwabinneda, laki - laki adalah representasi pemantik, pemberi umpan, dan penyimpan sekaligus pemberi cikal bakal kehidupan bagi isi rahim - yang kelak menciptakan jabang bayi.  Namun dalam pengaruh sinkretisme Jawa baru simbolisasi ganjil untuk wanita lebih condong pada keyakinan bahwa wanita itu lemah dan labil jadi butuh penggenap laki - laki sebagai inspirator dan penguat. Loro- lorone ngatunggal.

Selanjutnya secara praktis - fungsional, sesungguhnya laku puasa nganyep ini juga mengajak kita untuk memanajemen alur konsumsi garam dan minyak, dalam rangka mengatur kadar garam dan minyak dalam tubuh yang jika dikonsumsi dengan jumlah besar mampu memicu berbagai penyakit seperti; serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kerusakan hati, obesitas-memicu diabet, dll.

Gerakan praktik puasa nganyep ini sesungguhnya adalah wacana awal kita dalam memulai latihan membiasakan diri untuk me-reset tubuh dalam beberapa waktu, mengistirahatkan tubuh dari kalapnya naluri memakan, juga melestarikan bagian dari budaya lokal kita dengan mempratikkannya. Sederhananya puasa nganyep ini dijalani dalam rangka untuk meruwat atau men-detox tubuh kita. Selanjutnya juga melatih menurunkan frekuensi ngemil kita di era modern karena serangan makanan olahan yang sulit dihindari. Selebihnya adalah puasa nganyep bertujuan untuk mentransformasikan kesadaran kita menuju form pengalaman yang selalu baru dan menggairahkan, penuh antusias, serta penuh keterjagaan.  

Sedulur, tanpa kita gali, renungi, dan tulis ulang dengan pembaharuan dan keterbukaan, apa yang pernah ada di negeri ini sebagai plat form adat dan budaya amanah leluhur kita akan hilang dan terkubur. Memang suatu ketika jika budaya dan tradisi hanya dimengerti secara bentuk tanpa spirit - pemahaman utuh dan makna yang baru, maka semuanya akan hilang dan hanya menjadi benda artefak yang kehilangan makna dan spiritnya. Sebagaimana manusia jika mereka hanya memperhatikan realitas fisiknya semata tanpa menjajahi realitas batin sebagai sumber penciptaannya, maka mereka hanya akan menjadi benda mati dan komoditas kolektor saja. Mereka hanya akan menjadi pajangan, dan budak bagi pikiran liar dan ambisi. Tak lagi menemukan perjalanan baru menuju pembaharuan; pengalaman terbarukan, ide inovatif - kreatif, dan intuitif.  Mereka hanya akan mengulangi pola lama yang mengikat, tertutup, dan terbatas mereka hanya menjadi pemuja benda dan budak mentalnya sendiri yang berulang.

Yuk tirakat, yuk puasa, "Mikul Dhuwur mendhem Jero".

Temukan form barumu, transformasikan segala realitasmu.

Rahayu Sagung Dumadi 🙏

~ Tunjung Dhimas Bintoro, Suruh Nusantara Cendekia