Begawan Abyasa (Resi Wiyasa) meramalkan suatu perang besar akan menimpa trah Bharata (Keturunan Pandu dan Destarata). Setelah itu Yudhistira (Puntadewa) mengambil sumpah untuk menjalani kehidupan dengan lebih teliti, tidak gegabah, sabar, dan lembut agar tidak menyulut rasa sakit hati orang lain yang bisa memicu peperangan. Namun naas kala itu Sengkuni hendak mengundangnya bermain dadu mewakili Duryudana putra Destarata yang merupakan saudaranya sendiri. Yudhistira dalam kegusaran menjadi bingung sebagian mendesak agar tidak menghadiri undangan tersebut karena jelas ini tipu muslihat Sengkuni. Akan tetapi dilain sisi ia bersumpah untuk tidak menyakiti hati orang lain apalagi undangan ini juga dari saudaranya para Kurawa. Yudhistira sangat pekewuh dan tidak enak hati jika tidak menghadiri undangan "slametan" tersebut. Akan tetapi ketidakstabilan hatinya telah diketahui Sengkuni.
Yudhistira menjadi seorang pemimpin yang lemah dan berlindung di balik pegangan prinsip moral dan religi. Destarata bersama, Bisma, Widura, dan Durna memperingatkan Sengkuni dan Duryudana agar tidak melakukan rencana tersebut karena akan memicu perang dahsyat di kemudian hari. Sengkuni berkotbah "Para tetua putramu dan cucumu, Kurawa adalah seorang anak yang memiliki bapak buta, kakek yang rapuh, dan guru spiritual yang tak memahami ilmu parenting, dari kecil Duryudana dan saudara- saudaranya selalu di "bully" dan ditindas oleh mereka para Pandawa, saat usia kanak- kanak Duryudana sering kali mengalami perundungan, pukulan, dan kata- kata tak senonoh dari Bima dan Arjuna. Tak jarang aku selalu melihatnya muram, memar, dan mereka menyimpan perasaannya sendiri, karena mereka tau orang tuanya tak akan pernah menghiraukannya. Pandawa, mereka memang kuat, tangguh, hebat namun sering Kali menindas yang lemah seperti Dursasana dan Duryudana anak manja yang tak pernah tersentuh oleh kata- kata pedas dan kerasnya pendidikan oleh Bapaknya yang sok bermoral dan buta, begitupula aku yang hancur berkeping- keping kala itu ketika melihat seorang Bisma memancung leher papa - mamaku didepanku bersama kakaku, Ghandari".
Widura, Bisma, Destarata, dan Durnapun terdiam, sejenak. Sengkuni melanjutkan kotbahnya "Ini adalah karma mereka Pandawa, yang seharusnya menerima waktu pembalasan, tak hanya itu Karna anak suci yang di buang Kunti sang pengamal kitab suci yang solehah itu, kini telah tumbuh dewasa, air susu dan nasi basi yang ditanak oleh seorang kusir yang telah membesarkan Karna, dan kini menciptakan kutukan dewata pada seorang ibu yang tega menghanyutkan anaknya disungai, Kunti yang konon bermoral itu, pesanku jangan remehkan sakit hati seseorang atau akan membuat berat kehidupanmu di masa depan ".
Destarata menyanggah "baiklah aku mengerti hal ini memang terkesan menyakitkan tapi, jangan hasut kami dengan dendam, dan jika harus berperang dengan Pandawa jelas kita akan kalah karena mereka terbukti lebih kuat dari kita". Sengkuni berjalan sambil melambatkan langkahnya, lalu sambil menoleh pada Widura ia kembali menyahut "Mungkin kita bisa saja mengikis dendam, tapi doa dan kutukan hati orang yang pernah teraniaya itu berkekuatan dahsyat, sering kali memang begitulah takdir dewata, upaya kita terkadang tak mampu menghalanginya, ya Pandawa memang kuat maka aku menggunakan muslihat untuk melawannya, lagi pula aku tau anakmu juga bodoh, apalagi bapaknya buta dan suka memanjakannya. Kalian juga harus tau bahwa dalam sebuah peperangan muslihat adalah bagian dari kecerdasan, keterampilan, dan strategi".
"Pesanku jangan remehkan sakit hati seseorang atau akan membuat berat kehidupanmu di masa depan" ( Paman Sengkuni)
~ Tunjung Dhimas Bintoro
(Pendiri Yayasan Suruh Nusantara Cendekia)