Tidak mudah menemukan guru yang bisa membuka anugerah Tuhan pada diri seorang murid. Karena banyak guru yang tidak menunjukan pada murid betapa pentingnya melihat ke dalam diri murid sendiri. Setiap guru hanya menciptakan idealitas bahwa murid harus melihat dan menjiplak gurunya. Makna tentang  guru yang harus digugu lan ditiru, perlu diexplorasi ulang. Itu paradigma bisnis yang dilandasi kultus dan pembatasan ruang kreativitas dan kemurnian individu sebagai murid.

Hal tersebut jelas wujud pengekerdilan, karena pada akhirnya banyak murid yang hanya ingin menjadi diri gurunya, alih- alih menjadi diri sejati si murid sendiri. Guru yang tuntas dan tajam adalah Ia (guru) akan menjadikan murid untuk menjadi diri murid itu sendiri, tidak membuat murid menjadi orang lain bahkan menjadi seperti gurunya sendiri.

Guru; Gunging rasa - rumangsa mring jatining diri. Guru adalah penunjuk jalan muridnya untuk menembus jagad diri murid itu sendiri, memberi ruang agar si murid mampu meretas anugerah Tuhan di dalam diri  murid itu sendiri. Alih- alih kultus pada sosok guru sebagai pribadi. Keberadaan guru adalah "guide" yang mengajak murid terlibat dalam pengamatan intensif pada diri sang murid itu sendiri. Memberi tau rute- rute  ke-orisinilan dan kesejatian pada diri si murid, mengukir murid menjadi diri si murid sesuai bakat, talenta, dan cetak birunya sendiri.

Guru yang baik, adalah pribadi yang telah tenggelam dalam dirinya, yang menyingkirkan kepribadiannya dari hadapan muridnya, guru yang mumpuni mereka yang telah memberi jalan luas bagi si murid untuk bertumbuh dan berkembang luas, alih- alih menutupi murid dengan segudang paes - paes yang melumpuhkan pandangan murid terhadap dunia batin yang menggelora dalam diri muridnya.

~ Tunjung Dhimas Bintoro

(Pendiri Yayasan Suruh Nusantara Cendekia)